Menikah itu menyebalkan.
Banyak hal menjadi berubah saat kamu menikah. Minimal data di KTP dari belum menikah menjadi kawin. Dengan menikah kita akan mendapat tunjangan suami/istri/anak (bagi perusahaan yang menyediakan, hahaha...) Dan hal penting yang berubah adalah kamu tidak lagi hidup sendiri. Bisa berdua atau mungkin berjamaah dengan yang lain.
Menikah membuat mu terikat satu sama lain. Apalagi kalau kalian punya bebi alias bayi, jadi artinya yang umurannya masi kuecil intik intiiiik. Apa2 jadi dipikirkan demi kepentingan semua. Hobi nongkrong harus milih tempat yang safe dari asap rokok. Mau pergi ujan2 harus naik mobil (kalo bisa, malahan kalo bisa ngga usa pergi deh). Hidup serumah dengan orang yang sama entah sampai kapan, menghadapi perbedaan yang baru saja keliatan setelah menikah, berdamai dengan kebiasaan-kebiasaan kecil yang menjengkelkan. Misal taruh baju yang masi mau dipakai sembarangan, stay on HP everytime, bermalas-malasan disaat kita lagi hetic prepare ini itu. Belum lagi bebi yang nangis mulu. Maunya digendong ato ditemenin main. Seolah gabisa ngerti kita masih bejibun kewajiban dan teatrikal rutinitas dunia. Hahahaha...
Menikah itu menyebalkan karena kita dituntut untuk harus berdiri di banyak sisi. Diantara suami dan mertua. Diantara mertua dan ipar. Diantara mertua dan orang tua. Diantara tetangga kiri kanan. Diantara anak dan suami. Diantara suami dan saudara. Dan sebagainya. Dituntut untuk menjadi dewasa, dan mulai harus mandiri dan dewasa dalam berkeputusan karena kita mewakili kita. Tidak ada lagi sosok orang tua yang berdiri di depan kita untuk menjadi wakil kita.
Menikah itu menyebalkan karena ngga ada sekolahnya. Gereja hanya bisa mempersiapkan dan memberi materi semampunya. Selanjutnya terserah anda. Mungkin ini kenapa dulu ada istilah 'belajar menikah' dari kalangan darah biru. Mereka mengambil istri-istrian (dipilih dari perawan terayu ) dari desa-desa terpencil untuk anak lelaki mereka, agar anak lelaki mereka bisa belajar menikah. Yang saya belum tau belajarnya itu belajar bagaimana. Apa supaya mereka teruji jantan dengan berhasil membuahi si perawan. Karena setiap akhir ceritanya, setelah melahirkan anak tsb harus ditinggal di rumah penggede tsb dan si ibu akan pulang kembali ke desanya. Dengan bekal perhiasan mahal dan baju serta kain-kain bagus.
Semenyebalkan itu hidup pernikahan sehingga mungkin banyak yang akhirnya tidak kuat iman dan berpisah. Sebagian akhirnya menepi dan memutuskan hidup mandiri bersama keluarga kecilnya. Atau ada yang masih bertahan karena banyak alasan.
Akhirnya saya mengerti kenapa ibu itu memilih diam. Menikmati setiap kericuhan di rumah beradu dengan kerumitan pikiran. Menikmati setiap pegal dan linu beradu dengan perut yang keroncongan. Semenyebalkan ini, hingga hanya yang kuat hati dan imannya yang mampu bertahan.
Menikah itu menyebalkan, tapi sebalnya selalu membuat rindu di hati...
*Ditulis dengan cinta
Banyak hal menjadi berubah saat kamu menikah. Minimal data di KTP dari belum menikah menjadi kawin. Dengan menikah kita akan mendapat tunjangan suami/istri/anak (bagi perusahaan yang menyediakan, hahaha...) Dan hal penting yang berubah adalah kamu tidak lagi hidup sendiri. Bisa berdua atau mungkin berjamaah dengan yang lain.
Menikah membuat mu terikat satu sama lain. Apalagi kalau kalian punya bebi alias bayi, jadi artinya yang umurannya masi kuecil intik intiiiik. Apa2 jadi dipikirkan demi kepentingan semua. Hobi nongkrong harus milih tempat yang safe dari asap rokok. Mau pergi ujan2 harus naik mobil (kalo bisa, malahan kalo bisa ngga usa pergi deh). Hidup serumah dengan orang yang sama entah sampai kapan, menghadapi perbedaan yang baru saja keliatan setelah menikah, berdamai dengan kebiasaan-kebiasaan kecil yang menjengkelkan. Misal taruh baju yang masi mau dipakai sembarangan, stay on HP everytime, bermalas-malasan disaat kita lagi hetic prepare ini itu. Belum lagi bebi yang nangis mulu. Maunya digendong ato ditemenin main. Seolah gabisa ngerti kita masih bejibun kewajiban dan teatrikal rutinitas dunia. Hahahaha...
Menikah itu menyebalkan karena kita dituntut untuk harus berdiri di banyak sisi. Diantara suami dan mertua. Diantara mertua dan ipar. Diantara mertua dan orang tua. Diantara tetangga kiri kanan. Diantara anak dan suami. Diantara suami dan saudara. Dan sebagainya. Dituntut untuk menjadi dewasa, dan mulai harus mandiri dan dewasa dalam berkeputusan karena kita mewakili kita. Tidak ada lagi sosok orang tua yang berdiri di depan kita untuk menjadi wakil kita.
Menikah itu menyebalkan karena ngga ada sekolahnya. Gereja hanya bisa mempersiapkan dan memberi materi semampunya. Selanjutnya terserah anda. Mungkin ini kenapa dulu ada istilah 'belajar menikah' dari kalangan darah biru. Mereka mengambil istri-istrian (dipilih dari perawan terayu ) dari desa-desa terpencil untuk anak lelaki mereka, agar anak lelaki mereka bisa belajar menikah. Yang saya belum tau belajarnya itu belajar bagaimana. Apa supaya mereka teruji jantan dengan berhasil membuahi si perawan. Karena setiap akhir ceritanya, setelah melahirkan anak tsb harus ditinggal di rumah penggede tsb dan si ibu akan pulang kembali ke desanya. Dengan bekal perhiasan mahal dan baju serta kain-kain bagus.
Semenyebalkan itu hidup pernikahan sehingga mungkin banyak yang akhirnya tidak kuat iman dan berpisah. Sebagian akhirnya menepi dan memutuskan hidup mandiri bersama keluarga kecilnya. Atau ada yang masih bertahan karena banyak alasan.
Akhirnya saya mengerti kenapa ibu itu memilih diam. Menikmati setiap kericuhan di rumah beradu dengan kerumitan pikiran. Menikmati setiap pegal dan linu beradu dengan perut yang keroncongan. Semenyebalkan ini, hingga hanya yang kuat hati dan imannya yang mampu bertahan.
Menikah itu menyebalkan, tapi sebalnya selalu membuat rindu di hati...
*Ditulis dengan cinta
Komentar
Posting Komentar