RELASI. ini perjalanan panjang untuk menceritakan arti sebuah relasi. dasar dari semua yang kita kerjakan adalah hubungan kita dengan Tuhan. berjalan sesuai dengan apa yang Tuhan mau bukan yang kita mau. keadaan galau atau bimbang biasanya berwal dari ketidaktauan kita harus melangkah kemana. karena kita tidak bertanya. atau mungkin kita sedang menjauh. sehingga suara penuntun yang mestinya utama hilang sayup dideru dunia. kalah dengan suara tuhan-tuhan baru versi kita. jadi jelas, apa yang menjadi dasar kita melangkah adalah hasil dari perbincangan kita dengan yang punya hidup.
yang seringkali konyol dan selalu terjadi (saya menyebutnya klasik) adalah kita tahu ini hal utama. bahwa berbincang dengan Tuhan. berQ-time dengan Tuhan adalah pokok. tapi selalu kita menomor sekiankan. bahasa Jawanya 'nggampangke'. hal lucu tapi ironis.
jadi, sejauh apa kita menjagai hubungan kita dengan yang punya hidup? ekstrimnya, kalau belum mampu sama sekali lalu bagaimana kita menjagai hubungan dengan sesama? dengan yang paling dekat yaitu pasangan atau anak? apalagi kita sebagai orang tua bertanggungjawab membawa 'obor' kehidupan. membawa cahaya supaya kelak nanti anak kita juga bisa menemukan jalan yang sepatutnya. jalan yang terang. tidak gelap.
terkadang saya merasa lelah jika harus berhadapan dengan ego. dalam bahasa saya ego adalah logika pikir yang sangat keras dan tak terbantahkan, sekalipun si pemilik tau itu konyol. salah kaprah. kita seringkali terkotak pada ambisi. ambisi besar tanpa disertai kerelaan hati untuk menerima kenyataan. sehingga ada ungkapan artis cetar membahenol yang bilang hidup dalam buaian fatamorgana. artinya, kita hidup di angan-angan. melangit. lupa kalau tidak punya sayap. sehingga tetap berlagak terbang padahal sayap kita sayap bohongan. hidup yang seperti ini susah sekali dijalani. ditanggal muda berasa seperti orang kaya, hingga menjelang pertengahan mulai bingung cari pinjaman untuk menutupi gaya.
menerima kenyataan itu hal sepele yang susah dicerna. apalagi kalau egonya sudah keras membatu. dampaknya jadi kemana-mana. mulai dari gaya hidup nurutin gengsi, takut malu karena tidak seperti yang lainnya, dan parahnya lagi menuhankan logika.
jangankan membayangkannya, bertemu dengan orang seperti ini biasanya sudah sangat menguras energi. mungkin kalau dilihat cakra atau auranya bayangannya seperti kita diam anteng tapi cakranya seberang menghantam-hantam berulang kali.
standar saya, jika memang hubungan kita sedang NOL besar dengan yang punya hidup. lalu mengapakah kita repot merancang rencana ke depan. sebuah kesia-siaan. jika kita ingin hidup ini berisi, kita WAJIB tinggal dan hidup di dalam Dia.
kawan, hidup itu seperti peta. kita semua punya rel masing-masing. membumilah. pasrah. berserah. pakai hati untuk mengerti, logika itu terbatas tempatnya. tidak akan cukup untuk menampung kemahaanNya. segala kerumitan kehidupan pasti akan terurai. sekalipun proses tampak seperti tak kemana-mana. Tuhan selalu punya caraNya sendiri. Bangun dan berbicaralah, supaya kita tahu harus kemana kereta kita berjalan.
*kutulis menuang jemu. aku lelah dengan logikamu. pantaskan diri buat Dia supaya pantas engkau untuk anakmu.
Malang, 2 Maret 2016 menjelang tujuh bulan ia menapak di bumi semoga semakin engkau terberkati memiliki kami (amin)
yang seringkali konyol dan selalu terjadi (saya menyebutnya klasik) adalah kita tahu ini hal utama. bahwa berbincang dengan Tuhan. berQ-time dengan Tuhan adalah pokok. tapi selalu kita menomor sekiankan. bahasa Jawanya 'nggampangke'. hal lucu tapi ironis.
jadi, sejauh apa kita menjagai hubungan kita dengan yang punya hidup? ekstrimnya, kalau belum mampu sama sekali lalu bagaimana kita menjagai hubungan dengan sesama? dengan yang paling dekat yaitu pasangan atau anak? apalagi kita sebagai orang tua bertanggungjawab membawa 'obor' kehidupan. membawa cahaya supaya kelak nanti anak kita juga bisa menemukan jalan yang sepatutnya. jalan yang terang. tidak gelap.
terkadang saya merasa lelah jika harus berhadapan dengan ego. dalam bahasa saya ego adalah logika pikir yang sangat keras dan tak terbantahkan, sekalipun si pemilik tau itu konyol. salah kaprah. kita seringkali terkotak pada ambisi. ambisi besar tanpa disertai kerelaan hati untuk menerima kenyataan. sehingga ada ungkapan artis cetar membahenol yang bilang hidup dalam buaian fatamorgana. artinya, kita hidup di angan-angan. melangit. lupa kalau tidak punya sayap. sehingga tetap berlagak terbang padahal sayap kita sayap bohongan. hidup yang seperti ini susah sekali dijalani. ditanggal muda berasa seperti orang kaya, hingga menjelang pertengahan mulai bingung cari pinjaman untuk menutupi gaya.
menerima kenyataan itu hal sepele yang susah dicerna. apalagi kalau egonya sudah keras membatu. dampaknya jadi kemana-mana. mulai dari gaya hidup nurutin gengsi, takut malu karena tidak seperti yang lainnya, dan parahnya lagi menuhankan logika.
jangankan membayangkannya, bertemu dengan orang seperti ini biasanya sudah sangat menguras energi. mungkin kalau dilihat cakra atau auranya bayangannya seperti kita diam anteng tapi cakranya seberang menghantam-hantam berulang kali.
standar saya, jika memang hubungan kita sedang NOL besar dengan yang punya hidup. lalu mengapakah kita repot merancang rencana ke depan. sebuah kesia-siaan. jika kita ingin hidup ini berisi, kita WAJIB tinggal dan hidup di dalam Dia.
kawan, hidup itu seperti peta. kita semua punya rel masing-masing. membumilah. pasrah. berserah. pakai hati untuk mengerti, logika itu terbatas tempatnya. tidak akan cukup untuk menampung kemahaanNya. segala kerumitan kehidupan pasti akan terurai. sekalipun proses tampak seperti tak kemana-mana. Tuhan selalu punya caraNya sendiri. Bangun dan berbicaralah, supaya kita tahu harus kemana kereta kita berjalan.
*kutulis menuang jemu. aku lelah dengan logikamu. pantaskan diri buat Dia supaya pantas engkau untuk anakmu.
Malang, 2 Maret 2016 menjelang tujuh bulan ia menapak di bumi semoga semakin engkau terberkati memiliki kami (amin)
Komentar
Posting Komentar